الدرس السادس

    Kaidah Al-Mudhaf (kata yang di-idafahkan) biasanya merupakan kata benda yang nakirah (tidak berdefinisi) dan menjadi ma’rifah (berdefinisi) sesuai dengan posisinya dalam kalimat, seperti:

• “Mudarris al-lughah mukhlis” (Guru bahasa itu tulus)
• “Tazdahim suuq al-layl” (Pasar malam itu ramai)
• “Yaknusu al-khadim fanaa’ al-bayt” (Pelayan menyapu halaman rumah).

Al-Mudhaf ilaih (kata yang mengikuti mudhaf) adalah kata benda yang dinisbatkan kepada kata benda sebelumnya dan selalu dalam kondisi majrur (diikuti oleh harakat kasrah), seperti: “Yaqtifu al-fallaah thamarata al-narjeel” (Petani memetik buah kelapa). Dalam hal ini, “thamarah” disebut sebagai mudhaf dan “al-narjeel” disebut sebagai mudhaf ilaih, dan mudhaf ilaih selalu dalam kondisi majrur.   Al-Mudhaf ilaih juga bisa berupa dhamir (kata ganti). Jika berupa dhamir, maka ia akan terhubung dengan mudhaf dan di-i’rab (dianalisis) sebagai majrur, seperti: “Akhadhtu kitaabak” (Aku mengambil bukumu). Dalam kalimat ini, “kaaf” (kamu) adalah dhamir muttasil (kata ganti terhubung) yang dibina atas fathah (harakat fathah) dalam posisi majrur sebagai mudhaf ilaih. (Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas pada pelajaran berikutnya mengenai dhamir muttasil).   Idhafah (pengidafahan) membuat mudhaf menjadi ma’rifah jika mudhaf ilaih adalah ma’rifah, dan memberikan makna pengkhususan jika mudhaf ilaih adalah nakirah.   Mudhaf juga bisa berbentuk mutsanna (kata benda dual) atau jamak mudzakkar salim (kata benda jamak beraturan maskulin). Jika dalam bentuk mutsanna atau jamak mudzakkar salim, maka nun pada akhir kata tersebut dihilangkan, seperti: “Mudarrisaa al-lughah mukhlisaan” (dua guru bahasa itu tulus – mutsanna) atau “Mudarrisuu al-lughah mukhlisoon” (para guru bahasa itu tulus – jamak mudzakkar salim).